Tentu kebanggaan itu pasti ada di setiap diri seseorang ketika mendengar kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa (baru dengar loh!, belum menerima). Hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh sulitnya memperoleh beasiswa yang kerap terlontar dari mulut sebagian kawan bahwa jangankan untuk mendapatkan beasiswa, untuk mendapatkan behasisa aja sulitnya minta ampun. Namun dimanakah letak kebanggan atau kesulitan tersebut?
Sejujurnya, mendapatkan beasiswa itu terdapat enak dan tidaknya tergantung pada siapa atau donator mana yang memberikan beasiswa. Namun kebanggaan mendapat beasiswa dengan iming-iming yang terlalu berlebihan ternyata perlu dimanage agar kekecewaan tidak akan mengotori kebanggan itu, karena pasti persoalan lain akan muncul ketika beasiswa itu telah diterima. Misalnya; beasiswa yang kita peroleh tidak sesuai jumlah yang seharusnya kita terima, ada pemotongan pajak, cairnnya beasiswa yang acap kali dirapel per triwulan ataupun per 6 bulanan atau bahkan pertahun, dan sebagainya.
Fenomena ini akan menjadi pemicu utama bagi orang-orang untuk semakin maruk mengejar beasiswa/bantuan tambahan dari pihak lain meski telah mempunyai beasiswa. Wajar jika ada orang yang mempunyai tiga beasiswa atau lebih dan untuk menghindari persyaratan dan pernyataan yang telah ditandatangani untuk tidak berbeasiswa rangkap/ganda dari pihak manapun ternyata memperindah bahasanya dengan kata ‘Bantuan”, artinya ia hanya memperoleh beasiswa dari satu donator sementara dari donator lainnya hanyalah sekedar bantuan. Jika demikian, maka orang bukan hanya rakus mengejar beasiswa, bahkan behasisa-pun akan dikejar dengan menghalalkan segala cara.
Jika ingin mendapatkan Behasisa, tidak perlu repot untuk mencarinya, karena ternyata telah banyak dijual dan dipasarkan di CABO (cakar bongkar) tinggal bagaimana kita memilih dan memilah dengan baik kemudian dibilas menggunakan air hangat agar tidak mudah tertular kuman. Demikian pula halnya dengan beasiswa, sangatlah mudah untuk mendapatkannya namun disebabkan oleh kemalasan kita sendiri dalam pengurusan yang sedikit berbelit-belit dan juga karena persepsi kita yang menganggap bahwa beasiswa itu sakral dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang cerdas dan berprestasi saja, padahal telah banyak donator beasiswa bertebaran baik di real life ataupun di dunia maya dan dengan mudahnya info dan pendaftarannya kita peroleh dan register melalui internet, tinggal bagaimana kita memilih dan memilah agar terhindar dari kuman yang akan merusak mental kita sebagai seorang pelajar.
Kesiapan mental untuk belajar/kuliah perlu dimatangkan. Wajar jika Prof. Dr. B.J. Habibi pernah berpesan; Jangan pernah berfikir mencari beasiswa untuk kuliah atau kuliah untuk/demi beasiswa karena akan berakibat fatal terhadap mental dan moral individu itu sendiri. Hayalan tingkat tinggi yang begitu indah akan buyar ketika mendapatkan kenyataan yang berbeda. Karena tidak menyadari bahwa yang namanya “Beasiswa” itu adalah semata-mata tunjangan yang diberikan kepada pelajar atau mahasiswa sebagai bantuan biaya belajar. Kiranya yang harus digaris bawahi adalah kata “Bantuan” yang akan menjadikan kita sebagai orang-orang yang selalu dan pandai mensyukuri nikmat.
Dengan demikian, maka nafas dari ‘Uthlubul’ilam minal Mahdi ilal lahdi” atau ‘Long life learning’ akan terwujud dengan sendirinya sebagai pembentukan karakter manusia yang mapan dalam menghadapi segala perubahan.
By: Saidna Zulfiqar Bin Tahir
Was inspired by: Surya Darma Syam, Lc, M.A, Phd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar