Sebagai mahluk sosial, tentunya
manusia membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi guna
menyampaikan maksud, perasaan, ide atau gagasan kepada individu lainnya. Umumnya
orang ingin mengungkapkan gagasan dan perasaannya secara langsung maupun tidak
langsung yang mudah difahami oleh orang lain tanpa harus memboroskan kalimat
atau tidak menggunakan kalimat yang panjang dan bertele-tele.
Menurut Gorys Keraf (1980),
bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Tak heran jika masyarakat Indonesia, Arab,
dan Inggris dalam mengungkapkan sesuatu, baik berupa pujian, kritikan maupun
nasehat biasanya menggunakan kalimat ringkas berupa perumpamaan dengan
simbol-simbol yang bermakna kiasan yang penuh hikmah dan mereka lebih merasa
terwakili ide-ide mereka dengan menggunakan perumpamaan dan simbol tersebut.
Ilmu yang mempelajari tentang
simbol atau lambang yang sangat berhubungan erat dengan apa yang dijadikan
lambang atau ilmu yang berhubungan dengan pengkajian tanda dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku
bagi penggunaan tanda
dinamakan semiotika. Ada beberapa simbol yang telah umum dikenal di seluruh
dunia dan telah disepakati bersama, misalnya simbol lalu lintas. Namun ada juga
simbol atau lambang yang belum disepakati bersama dalam penggunaan simbol hewan,
tumbuh-tumbuhan ataupun benda untuk menggambarkan sesuatu. Misalnya, singa,
beruang, kuda yang melambangkan orang yang kuat, ular melambangkan orang yang
licik, monyet melambangkan orang yang lincah (orang Arab memuji dengan ungkapan
“Anta kal qird-kamu bagaikan
monyet sebagai suatu pujian), keledai, udang melambangkan orang yang bodoh,
bunga melambangkan kecantikan, dan lain sebagainya.
Salah satu penggunaan bahasa
dalam berkomunikasi menggunakan makna kias atau makna yang tidak sebenarnya
adalah peribahasa. Peribahasa biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai semboyan yang berhubungan erat dengan aspek kemasyarakatan dan
kebudayaan karena pribahasa itu digunakan untuk menggambarkan berbagai
kegiatan, kondisi dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejak zaman nenek moyang,
bangsa Indonesia telah menggunakan peribahasa dalam bahasa lisan. Fungsi dan
penyebarannya pun dilakukan secara lisan oleh masyarakat untuk menyampaikan
pujian, sindiran atau perumpamaan. Peribahasa di setiap Negara sangat
bervariatif, baik di Indonesia, Arab, maupun Inggris dan bersifat turun temurun
sesuai dengan peradaban setempat. Perbedaan budaya pun merupakan salah satu faktor
yang membuat adanya perbedaan unsur peribahasa meskipun maksud atau makna dari
peribahasa itu sama, karena untuk memahami suatu peribahasa tidaklah mudah. Di
dalam suatu peribahasa bukan hanya terkandung makna kamus, tetapi juga makna
majas atau kiasan yang merupakan bagian dari semantik yang menelaah hubungan simbol-simbol
dengan objek yang merupakan wadah penerapan simbol tersebut.
Peribahasa termasuk dalam
bidang semantik. Definisi peribahasa itu sendiri menurut Harimurti Kridalaksana
(1993) adalah kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun temurun,
digunakan untuk menguatkan maksud karangan pemberi nasehat dan pengajaran
pedoman hidup. Menurut Lukman Ali (1995) bahwa peribahasa adalah kalimat
ringkas yang berisi perbandingan, nasehat, prinsip hidup atau tingkah laku. Hal
ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh Macdonald (1981) dengan “A short familiar sentence expressing a
supposed truth or moral lesson-Sebuah kalimat ringkas yang masyhur
menggambarkan hakikat pengandaian atau pelajaran tentang moral”. Menurut Ronald
Ridout dan Clifford (1967), “A popular
short saying with words of advice or warning-Perkataan pendek yang masyhur
dalam bentuk nasehat atau peringatan”. Sedangkan menurut Marzuki (1378.H) bahwa
peribahasa adalah perkataan ringkas yang becirikan Ijaz, perumpamaan dan
penyamaan, hikmah, masyhur, kinayah (metonimi), dan keabsahannya.
Dari definisi-definisi di atas,
baik dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab menunjukkan bahwa peribahasa di
ketiga Negara tersebut memiliki beberapa persamaan arti, yaitu kalimat pendek yang
mashur secara turun temurun yang digunakan untuk memberi nasehat, peringatan,
sindiran maupun sebagai pedoman hidup.
Dapat dimaklumi bahwa antar
kehidupan manusia di muka bumi ini memiliki kemiripan walaupun berbeda situasi
dan kondisinya. Meskipun berbeda waktu dan zaman namun sebahagian dari kondisi
dan pengalaman di antara bangsa boleh saja memiliki persamaan. Tak heran jika
kita mengklaim bahwa peribahasa suatu bahasa berasal dari bahasa yang lain,
sebagaimana dapat kita lihat pada peribahasa Indonesia di bawah ini:
“Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah”
Dalam bahasa Arab, dari
penggalan hadis Rasul SAW:
اليد العليا خير من اليد السفلى
(tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah)
Dalam bahasa Inggris:
‘It is better to give than to
take”
(lebih baik memberi dari pada menerima)
Dari ketiga peribahasa di atas
dapat dikatakan bahwa ada persamaan bentuk dan sumber antara ketiganya dari
ajaran agama atau wahyu Ilahi. Peribahasa Indonesia bersumber dari ajaran islam
atau bahasa Arab (namun ada juga yang bersumber dari agama hindu-budha dan
lain-lain), dan antara peribahasa Arab dan Inggris bersumber dari kitab suci.
Contoh lain dari peribahasa di atas adalah perkataan Al-Masih;”It is more blessed to give than to receive”.
Peneliti terdahulu telah
membahas tentang bentuk-bentuk bahasa kiasan dan lebih cenderung atau
memfokuskan kajian mereka pada asal usul, definisi, fungsi, dan hubungan antara
perumpamaan dengan maksud. Pada buku ini lebih berfokus pada perbandingan
antara peribahasa Indonesia, Arab, dan Inggris dengan menggunakan pendekatan Contrastive Analysis (analisa
perbandingan) untuk mengetahui persamaan serta perbedaan-perbedaan dan
pola-pola penggunaan kata dalam struktur diantara peribahasa ketiga bahasa
tersebut yang diperoleh dari beberapa sumber, yaitu:
-
Kamus
peribahasa Indonesia, oleh Sarwono Pusposaputro
-
Majma’ul
Amtsaal, oleh Abu Fadhl al-Maydani
-
Al-Mustaqsha
fil-Amtsaal al-Arab, oleh Zamkhasiry
-
Oxford
Dictionary of English Proverb
-
English
Proverbs Explained, oleh Ronald Ridout & Clifford Witting
Sebagai salah satu hazanah
kesusastraan yang bersumber dari tradisi yang turun temurun tentunya peribahasa
mempunyai peranan sosio-budaya yang cukup besar bagi setiap masyarakat bangsa.
Peribahasa menggambarkan karakter dan cara berfikir pemakai bahasa dimana
dengan mengetahui atau mempelajarinya berarti secara tidak langsung akan mengetahui
karakteristik, cara berfikir dan budaya suatu bangsa. Dengan kata lain,
peribahasa merupakan identitas suatu bangsa. Namun sayangnya, dewasa ini banyak
orang yang tidak mengetahui dan acuh tak acuh terhadap peribahasa, padahal ia
adalah kekayaan budaya dan kesusastraan sebagai identitas suatu bangsa yang
perlu dipelihara dengan baik. Jika tidak, maka sebagian dari nilai-nilai
kemasyarakatan itu akan punah, baik dari segi bahasa lisan maupun tingkah laku.
Dengan mengetahui dan
mempelajari peribahasa dan membandingkannya antara bahasa satu dengan lainnya,
maka akan memudahkan untuk mempelajari bahasa dan budaya bangsa lain. Mengacu
pada tujuan-tujuan tersebut maka penulis merasa perlu untuk menyusunnya dalam
bentuk buku yang kiranya dapat menambah referensi bagi pembelajar dan informasi
bagi siapa saja yang ingin lebih mendalami kajian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar