Sesuatu yang memberi kita kepastian dalam hidup kita yaitu keberanian. Namun perlu disadari bahwa perasaan berani itu berasal dari perasaan takut yang lama terpendam.
Dan keberanian bukanlah diukur dengan sifat premanism, karena semua orang dapat melakukan apapun bila ia percaya dan menginginkannya. Sebagian besar orang akan merasa terancam bila keadaannya sudah terdesak dan dirinya telah diliputi perasaan takut, tetapi sebagian lagi akan melakukannya karena tidak ada pilihan lain.Apa yang menjadi tujuan dalam hidup kita patut dipertanyakan dengan menimbang dan menimang kekurangan dan kelebihan yang kita miliki dan pada porsi manakah harus diposisikannya agar konflik dan akibatnya lebih mudah diminimalisirkan.
Terdapat 5 kelemahan pada setiap orang :
1. Disaat sembarangan, mudah membunuhnya.
2. Disaat takut, mudah menangkapnya.
3. Disaat marah, mudah menghasutnya.
4. Disaat sensitif, mudah menjadikannya terhina.
5. Disaat emosional, mudah membuatnya gelisah.
Kelemahan-kelemahan yang kita miliki ini akan berubah menjadi kekuatan manakala dapat memangenya dengan baik, mungkin dengan berlatih berpuasa atau mencari suatu hoby baru yang dapat mengalihkan perhatian dan berlatih menguasai diri di saat kelemahan-kelemahan itu muncul. Atau dengan banyak mengambil hikmah dari kisah-kisah yang menyadarkan kita tentang kehidupan. Simaklah kisah berikuit:
Dikisahkan, di sebuah dusun tinggallah keluarga petani yang memiliki seorang anak masih bayi. Keluarga itu memelihara seekor anjing yang dipelihara sejak masih kecil. Anjing itu pandai, setia, dan rajin membantu si petani. Dia bisa menjaga rumah bila majikannya pergi, mengusir burung-burung di sawah dan menangkap tikus yang berkeliaran di sekitar rumah mereka. Si petani dan istrinya sangat menyayangi anjing tersebut. Suatu hari, si petani harus menjual hasil panennya ke kota. Karena beban berat yang harus di bawanya, dia meminta istrinya ikut serta untuk membantu, agar secepatnya menyelesaikan penjualan dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Si bayi di tinggal tertidur lelap di ayunan dan dipercayakan di bawah penjagaan anjing mereka. Menjelang malam setiba di dekat rumah, si anjing berlari menyongsong kedatangan majikannya dengan menyalak keras berulang-ulang, melompat-lompat dan berputar-putar, tidak seperti biasanya.
Suami istri itu pun heran dan merasa tidak tenang menyaksikan ulah si anjing yang tidak biasa. Dan Betapa kagetnya mereka, setelah berhasil menenangkan anjingnya…astaga, ternyata moncong si anjing berlumuran darah segar. “Lihat pak! Moncong anjing kita berlumuran darah! Pasti telah terjadi sesuatu pada anak kita!” teriak si ibu histeris, ketakutan, dan mulai terisak menangis. “Ha…benar! Kurang ajar kau anjing! Kau apakan anakku? Pasti telah kau makan!” si petani ikut berteriak panik. Dengan penuh kemarahan, si petani spontan meraih sebuah kayu dan secepat kilat memukuli si anjing itu dan mengenai bagian kepalanya. Anjing itu terdiam sejenak. Tak lama dia menggelepar kesakitan, memekik perlahan dan dari matanya tampak tetesan airmata, sebelum kemudian ia terdiam untuk selamanya. Bergegas kedua suami istri itu pun berlari masuk ke dalam rumah. Begitu tiba di kamar, tampak anak mereka masih tertidur lelap di ayunan dengan damai.
Sedangkan di bawah ayunan tergeletak bangkai seekor ular besar dengan darah berceceran bekas gigitan. Mereka pun segera sadar bahwa darah yang menempel di moncong anjing tadi adalah darah ular yang hendak memangsa anak mereka. Perasaan sesal segera mendera. Kesalahan fatal telah mereka lakukan. Emosi kemarahan yang tidak terkendali telah membunuh anjing setia yg mereka sayangi. Tentu, penyesalan mereka tidak akan membuat anjing kesayangan itu hidup kembali. Sungguh mengenaskan. Gara-gara emosi dan kemarahan yang membabi buta dari ulah manusia, seekor anjing setia yang telah membantu dan membela majikannya, harus mati secara tragis. Saya rasa demikian pula di kehidupan ini. Begitu banyak permasalahan, pertikaian, perselisihan bahkan peperangan, muncul dari emosi yang tidak terkontrol. Karena itu, benarlah apa yang telah disabdakan pleh baginda nabi Muhammad saw; “Laysa Syadiidu bil quwwati walaakinnas sadiidu liman amsaka nafsahu ‘indal ghadhabi” bahwa bukanlah suatu kepandaian, kekuatan, kejayaan, dan kekuasaan itu dengan kekerasan, melainkan semua itu bagi mereka yang dapat menahan dan mengontrol nafsu amarahnya di saat marah dan emosi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar