Jangan Pernah Menjadi Pencuri Ilmu. Seringkali
kita mendengar kabar tentang seorang penebang hutan yang mati lantaran pohon
yang ditebangnya berbalik menghantam kepala si penebang pohon tersebut.
Seringkali kita dihebohkan oleh hal-hal mistis, misalnya dihebihkan dengan kabar berdirinya pohon setelah ditebang yang telah tumbang di areal pemakaman misalnya di Dusun Joho Kediri, Jawa Timur. Percaya atau tidak, toh masyarakat masih percaya akan adanya mahkluk halus yang tinggal di hutan-hutan, mata air, batu besar, pohon besar, kawah, dan puncak gunung. Kejadian-kejadian itu merupakan contoh kecil tidak adanya permintaan izin ketika memasuki atau mengambil barang tersebut dari hutan, atau dengan bahasa kasarnya disebut dengan mencuri.
Seringkali kita dihebohkan oleh hal-hal mistis, misalnya dihebihkan dengan kabar berdirinya pohon setelah ditebang yang telah tumbang di areal pemakaman misalnya di Dusun Joho Kediri, Jawa Timur. Percaya atau tidak, toh masyarakat masih percaya akan adanya mahkluk halus yang tinggal di hutan-hutan, mata air, batu besar, pohon besar, kawah, dan puncak gunung. Kejadian-kejadian itu merupakan contoh kecil tidak adanya permintaan izin ketika memasuki atau mengambil barang tersebut dari hutan, atau dengan bahasa kasarnya disebut dengan mencuri.
Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain untuk
dimilikinya tanpa sepengetahuan pemilikinya. Mencuri merupakan perbuatan yang
dilarang atau diharamkan dalam semua ajaran agama. Di dalam sebuah hadist Rasulullah
SAW dikatakan bahwa mencuri merupakan tanda hilangnya iman seseorang. “Tidaklah
beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang
peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang
pencuri ketika ia sedang mencuri”. (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Setiap
Muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia akan terikat
dengan segala bentuk aturan dan ketentuan syariat Islam. Bahkan kualitas
keimanannya akan sangat banyak ditentukan dari sejauh mana ketaatannya terhadap
aturan-aturan syariah. Larangan untuk berbuat haram seperti mencuri ataupun memanfaatkan
harta hasil curian yang merupakan turunan dari larangan mencuri adalah aturan
baku yang harus ditaati. Logikanya sederhana saja, kalau mengambil wujud fisik
bendanya sudah haram, maka mengambil manfaatnya juga otomatis haram. Keharamannya
berdasarkan mengambil manfaat dari suatu benda yang bukan miliknya tanpa sepengetahuan
dan seizin pemiliknya.
Dengan
kata lain, sesuatu yang asalnya haram tidak dapat diubah hukumnya dengan cara
memanfaatkannya untuk kebaikan, karena Islam menganjurkan suatu perbuatan itu
diawali dengan niat yang baik (input), dilakukan dengan cara-cara yang baik
(action), dan hasilnya pun akan semakin baik (output). Misalanya, tidak dapat
membangun sebuah mesjid dari uang hasil mencuri, karena asal perbuatannya itu
adalah haram. Sama halnya dengan mencuri ilmu (bukan menuntut ilmu). Ilmu
adalah cahaya ilahi yang harus diniatkan dan diupayakan pemerolehannya dengan
cara yang baik. Orang yang mencuri ilmu pasti tidak akan mendapatkan keberkahan
dari ilmu yang dicurinya itu. Sebagaimana kisah imam Syafi’I ketika mengadu
kepada gurunya Waki’ tentang kesulitan dalam menghafal pelajaran, gurunya
memerintahkannya untuk meninggalkan perbuatan dosa. Artinya dosa akan
menghalangi masuknya ilmu ke dalam fikiran dan hati dan sudah pasti tidak akan
memberikan keberkehan.
شكوت إلى وكيع سوء حفظي #
فأرشدني إلي ترك المعاصى
فأخبرني بأن العلم نور
# ونور الله لا يهدى للعاصى
“Aku telah mengadu kepada
guruku Waki’ tentang sulitnya menghafal, beliau memerintahkanku untuk
meninggalkan segala perbuatan maksiat, beliau memberitahukanku bahwa ilmu itu
adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikannya kepada orang yang
berbuat maksiat”
Dari
kisah inilah, sehingga orang tuaku berkata:”Jangan pernah menjadi pencuri ilmu”
karena ilmu itu akan cepat terlupakan atau hilang dari ingatanmu dan ilmu itu
juga tidak akan memberikan keberkahan kepadamu. Agar tidak menjadi seorang
pencuri ilmu, maka sebelum membaca sebuah buku, dianjurkan terlebih dahulu
membaca al-Fatihah dengan niat semoga pahala dari bacaan itu ditujukan kepada
si pemilik atau pengarang buku agar tidak mudah melupakan apa-apa yang telah
dibaca dengan cepat dan selalu memperoleh keberkahan dari ilmu tersebut.
Disamping itu, bacaan Al-Fatihah tersebut akan melindungi kita dari kekeliruan
pemahaman maksud si pengarang yang terdapat di dalam buku.
Apakah
kita pernah berfikir? Mengapa Al-Quran sebagai Kitabullah yang berisi kata-kata
suci ilahiyah dan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW kepada seluruh ummat
manusia sebagai pedoman hidup dan penangkal godaan syaitan laknatullah alaihi, dimana
sebelum membacanya, harus didahului dengan membaca ta’awudz (meminta perlindungan) kepada Allah SWT. Bukankah kesucian
Al-Quran menghalangi ketidaksucian syaitan dalam menyentuhnya? Bukankah
Al-Quran adalah petunjuk dan perlindungan agar hati menjadi tentram? Ta’awudz inilah yang merupakan
permintaan izin dan permemohonan lindungan dan petunjuk dari segala bentuk
kekeliruan dalam memahami isi dan kandungannya. Sama halnya ketika memulai
membaca sebuah buku, maka layaknya untuk membacakan surah Al-Fatihah sebagai permintaan izin dan perlindungan agar tidak
menjadi pencuri ilmu yang tiada keberkahan dari hasil bacaannya.
Ada
banyak kisah yang menceritakan upaya para alim ulama dalam memperoleh ilmu
meskipun sekecil apapun dan bagaimana upaya mereka memperoleh keberkahan ilmu
tersebut. Mungkin dengan membaca kisah tersebut akan semakin memudahkan kita
dalam mencerna permasalahan ini.
Dikisahkan,
pada suatu hari ketika Abu Salih sedang duduk di tepi sebuah sungai, tiba-tiba
dia melihat sebuah apel sedang terbawa oleh air. Ketika itu Abu Salih belum
makan apa-apa sebagai ganjal perutnya. Setelah dia melihat apel itu perutnya
terasa lapar, lantas dia pun mengambil apel itu dan memakannya. Tiba-tiba dia
tersadar akan kesalahannya. Buah apel itu adalah dari pohon milik orang. Karena
Abu Salih seorang yang sangat religius, dia merasa tidak senang hati karena
telah memakan buah yang bukan haknya. Dengan tidak membuang waktu dia terus
mencari pemilik buah apel yang dimakannya itu. Dia benar-benar ingin meminta
maaf karena terlanjur memkannya. Dia ingin meminta di halalkan buah apel yang
dimakannya itu. Setelah sekian lama dia kembali mengikuti hulur sungai itu,
akhirnya dia melihat dahan pohon apel tersebut terjatuh ke dalam sungai. Maka
dia yakin bahwa apel yang dimakannya adalah dari salah satu pohon apel yang
terjatuh itu. Karena rasa takut pada murka Allah dan pemilik pohon apel itu, ia
lantas terus berjalan mencari orang yang punya pohon apel itu. Tidak lama
kemudian Abu Salih pun tiba di sebuah rumah yang sederhana. Abu Salih dapat
menduga bahwa rumah itu adalah rumah pemilik pohon apel tersebut. Rumah itu
sebenarnya milik wali Allah yang terkenal bernama Abdullah Sawmai.
Setelah
memberi salam dan masuk ke rumah orang itu, Abu Salih meminta maaf pada
kesalahan yang telah dilakukannya. Abdullah Sawmai bersedia memaafkannya tetapi
dengan syarat Abu Salih harus tinggal bersamanya selama 12 tahun. Wali itu
sengaja menguji sejauh mana ketakwaannya. Di dalam hati wali itu berkata,
“Sungguh baik anak muda ini, setelah memakan buah apel pun dia merasa perlu
meminta maaf kepadaku.” Abu Salih yang lurus itu setuju dengan persyaratan yang
diberikan oleh Abdullah Sawmai.
Sejak
hari itu tinggallah dia bersama wali tersebut. Saat dia berada di situ, dia
telah membantu membuat berbagai pekerjaan rumah dan taat pada setiap pekerja
yang diberikan kepadanya. Setelah genap 12 tahun dia tinggal di situ, dia pergi
ke kembali dengan wali itu untuk meminta maaf sekali lagi karena hendak pulang
ke kampung halamannya. Segera setelah dia meminta maaf, Abdullah Sawmai pun
berkata kepadanya, “Aku bersedia memaafkan kamu dengan syarat engkau harus
menikah dengan anakku yang buta, tuli dan juga cacat”. “Kenapa bergitu berat
sekali hukuman yang diberikan kepadaku, sedangkan aku hanya memakan sebuah
apel”, bisik hati Abu Salih. Dia berpikir juga itu mungkin satu cobaan terhadap
dirinya oleh Allah SWT. Mungkin ada hikmah dibalik semua itu. Akhirnya dengan
rela hati Abu Salih menerima Persyaratan Abdullah Sawmai itu.
Setelah
mereka menikah, Abu Salih terkejut ketika didapatinya istrinya tidak buta,
tidak tuli dan tidak cacat seperti yang dikatakan oleh bapak mertuanya.
Sebaliknya istrinya adalah seorang gadis yang sangat cantik yang tidak pernah
ditemuinya sebelum ini sepanjang hidupnya. Di dalam hatinya dia berkata,
“Mungkin berikut adalah balasan Allah terhadapku karena bersabar. Tapi kenapa
pula ayah mertuaku tidak mengatakan yang sebenarnya kepadaku dahulu“.
Pada
suatu hari ketika ayah mertuanya sedang duduk di pintu, Abu Salih pun datang
menghampirinya sambil bertanya, “Wahai ayahku, mengapa ayah mengatakan bahwa
anak ayah itu buta, tuli dan cacat?” Maka Abdullah Sawmai pun menjawab, “Aku
katakan Fatimah istrimu itu buta sebab dia belum pernah melihat orang lain
selain dari ayahnya. Aku katakan dia tuli karena dia belum pernah mendengar
kata kasar dan aku katakan dia cacat karena dia tidak pernah membuat dosa“.
Kisah lain, Imam hujjatul islam Al-Ghazali pernah
dihadang oleh sekelompok perampok saat melakukan perjalanan dan mereka
mengambil seluruh bawaan beliau. Namun ada hal yang penting dari barang yang
dirampas oleh mereka yakni beberapa catatan ilmu, hingga imam Al-Ghazali mengejar
kelompok perampok itu. Ketika para perampok mengetahui bahwa mereka dikejar,
pemimpin mereka mengatakan,”kembalilah, jika tidak, engkau akan celaka!” Imam Al-Ghazali pun menjawab,”Aku hanya ingin
kalian mengembalikan beberapa catatanku saja, hal itu tidak bermanfaat bagi
kalian.
Kepala perampok itu pun mengatakan,”Di mana
catatanmu itu?” Ia menjawab,” Beberapa buku di kantung itu, aku telah melakukan
perjalanan untuk menyimak dan menulis ilmunya.” Kepala perampok itu pun
tertawa, ”Bagaimana engkau mengaku mengetahui ilmunya? Sedangkan kami telah
mengambilnya darimu dan kini engkau tidak memiliki ilmu lagi.” Kamudian ia
memerintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku-buku itu. Setelah terjadi peristiwa itu, Imam Al-Ghazali
mengatakan,”Peristiwa ini merupakan nasihat dari Allah untukku, maka ketika aku
sampai di kota Thus aku meluangkan diri selama 3 tahun hingga hafal seluruh
catatanku itu, sehingga jika aku dirampok lagi aku tidak kehilangan ilmu.”
(Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 3/103)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar