Saidna Zulfiqar bin
tahir: Gunjingan seputar Pilpres 2014 semakin marak dibicarakan oleh tokoh
politik, agamawan, dan masyarakat. Focus pembicaraan yang ada di media cetak,
elektronik, jejaring social, di pasar, di café, dan di pinggir jalan berkisar
pada kandidat yang akan diusung.
Tak ayal, penilaian pribadi yang berlebihan
terhadap salah satu kandidat justru melahirkan gunjingan baru yang berdampak
pada fitnah. Meski saya pernah menulis “perbanyaklah difitnah jika ingin
menjadi orang besar/sukses”, bukan berarti harus menjadi orang yang suka
memfitnah orang lain, melainkan menjadi pribadi yang siap dan mampu memanage segala fitnahan itu sebagai
motivasi untuk sukses.
Timbulnya fitnah dari
gunjingan ini disebabkan oleh beberapa hal yang sangat mendasar, yang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu misconception
dan misperception. Miskonsepsi adalah kekeliruan dalam mengonsepkan
kepemimpinan yang ideal. Seorang tokoh agama akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan
agama, seorang politikus juga akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan
politik, seorang ilmuan mau tak mau mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan
teori-teori yang ia pelajari dan pasti tak jauh dari konsep George R Terry, dan
masyarakat pun akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan keinginan dan
kebutuhan mereka. Sehingga terdapat berbagai macam definisi pemimpin ideal yang
berkembang berdasarkan inspirasi masing-masing individu maupun kelompok. Standar
pemimpin ideal yang diinginkan pun terlalu tinggi atau terlalu ideal dengan
tolak ukur dan hasil perbandingan sejarah pemimpin-pemimpin terdahulu sebagai
manusia sekaligus pemimpin yang sangat sempurna.
Konsep kepemimpinan
yang dibangun oleh masyarakat benar-benar adalah high standard yang langka untuk ditemukan di zaman sekarang ini,
sehingga sulit mengatakan, apakah yang akan kita pilih ini adalah seorang
pemimpin atau seorang pejabat. Karena pada kenyataannya, kita sering
memposisikan kepemimpinan itu sama dengan jabatan. Padahal kepemimpinan
(al-wilayah) dan jabatan (manshab) sudah jelas berbeda. Pemimpin bisa saja
tidak memiliki jabatan sedangkan pejabat adalah orang yang kebetulan memiliki
kesempatan menduduki sebuah jabatan. Bahkan ada segelintir pelesetan bahwa
pemimpin cenderung membina sedangkan pejabat cenderung membinasakan. Pemimpin
tidak memerlukan atribut, sedangkan pejabat menyukai dan mengoleksi berbagai
atribut yang dapat menguatkan eksistensinya. Hakekat seorang pemimpin adalah
panutan yang diikuti dan dapat diteladani sesuatu darinya, sedangkan pejabat
diikuti oleh orang-orang yang mau, mencari muka, dan tunduk pada perintahnya. Alhasil,
idealnya seorang pemimpin yang ada selama pemilu ke pemilu hanya bisa dirasakan
dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Padahal yang kita pilih adalah
seorang pemimpin sekaligus pejabat Negara, dan bukan pemimpin terhadap kaum
atau golongan tertentu saja.
Jika sulit menemukan high standard seorang pemimpin sekaligus
pejabat, apa salahnya jika kita mengambil low
standard. Paling tidak, standar seorang pemimpin adalah kuat (mampu dari
segi fisik, pengetahuan, dan keuangan) dan amanah. Dengan standar yang
sederhana ini akan memungkinkan bagi semua kalangan, golongan ataupun agamawan
untuk sepakat dan memilih seorang kandidat tanpa harus mengumbar kejelekan
orang lain. Dan jika dimungkinkan untuk menggunakan dalil dari Al-quran, maka
sepantasnya Al-Quran surah Al-Qashah: 26 yang artinya;”Sesungguhnya manusia terbaik yang Anda tunjuk (pilih) untuk bekerja
adalah orang yang kuat dan amanah” yang patut dijadikan sebagai standard
dalam memilih pemimpin sekaligus pejabat.
Penyebab kedua
timbulnya pergunjingan yang berdampak fitnah adalah Mispersepsi, yaitu keliru dalam berpersepsi tentang seseorang.
Anehnya, seseorang yang belum pernah ketemu, tidak kenal, dan tidak tahu-menahu
sama sekali tentang seorang kandidat namun ia mampu dengan sempurna menjelaskan
persepsinya terhadap kandidat tersebut. Persepsi yang dibangun sekedar asumsi
dasar yang belum jelas kebenarannya. Namun hal ini dijadikan sebagai nilai yang
tak terbantahkan dengan cara mengada-adakan alasan/dalih dan isu kesukuan,
keagamaan dan lain sebagainya yang berdampak pada timbulnya fitnah yang sudah
pasti adalah dosa.
Sebuah kisah menarik
yang dapat dijadikan pelajaran adalah kisah sahabat Rasul yang bernama Abu
Darda ra. Suatu ketika beliau berjalan di pasar, terlihat sekerumunan massa
sedang berkumpul dan ribut-ribut. Beliau mendekati kerumunan massa itu dan
bertanya; apakah gerangan yang sedang terjadi? Salah seorang di antara mereka
menjawab; Si Fulan telah mencuri sebuah apel dan dipukili beramai-ramai oleh
masyarakat. Beliau menjawab; Astaghfirullahal Adzim semoga Allah mengampuni
dosa-dosa kalian. Mereka kaget dan bertanya; mengapa demikian wahai Abu Darda’?
Beliau lantas bertanya; Jika ada salah seorang dari saudara kalian yang
terjatuh ke dalam sumur, maka apa yang akan kalian lakukan? Serentak mereka
menjawab; Pasti kami akan menolong dan mengeluarkannya dari sumur itu. Beliua
kemudian menjelaskan bahwa pada hari ini salah seorang saudara kalian telah
terjatuh ke dalam sumur pencuri, bukannya kalian menolong dan mengeluarkannya
dari sumur tersebut, malah justru kalian semua menceburkan diri ke dalam sumur
mendzalimi orang lain. Saudara kalian pada hari ini telah melakukan dosa
mencuri sedangkan kalian tanpa sadar telah melakukan dosa yaitu mendzalimi
orang lain.
Pelajaran berharga yang
dapat dipetik dari kisah di atas dalam kaitannya dengan gunjingan seputar
pemilu Pilpres yang berdampak dosa adalah apa yang kita gunjingkan, argument
yang kita keluarkan, semua itu adalah sah-sah saja. Yang patut dijaga adalah
jangan sampai gunjingan dan argument itu menjadi fitnah yang berdampak pada
dosa. Dosa kepada Allah selain musyrik sudah pasti akan diampuni, sedangkan
dosa kepada orang lain tidak terampuni manakala orang tersebut belum
memaafkannya. Maka dari itu, wahai saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, baik
di Facebook, Twitter, BBM dan sebagainya untuk selalu waspada dalam
menggunjingkan kandidat Pilpres maupun kandidat lainnya yang tanpa disadari
berdampak pada dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar