IKLAN

Selasa, 20 Mei 2014

Gunjingan PILPRES Berujung Dosa

Saidna Zulfiqar bin tahir: Gunjingan seputar Pilpres 2014 semakin marak dibicarakan oleh tokoh politik, agamawan, dan masyarakat. Focus pembicaraan yang ada di media cetak, elektronik, jejaring social, di pasar, di café, dan di pinggir jalan berkisar pada kandidat yang akan diusung.
Tak ayal, penilaian pribadi yang berlebihan terhadap salah satu kandidat justru melahirkan gunjingan baru yang berdampak pada fitnah. Meski saya pernah menulis “perbanyaklah difitnah jika ingin menjadi orang besar/sukses”, bukan berarti harus menjadi orang yang suka memfitnah orang lain, melainkan menjadi pribadi yang siap dan mampu memanage segala fitnahan itu sebagai motivasi untuk sukses.
Timbulnya fitnah dari gunjingan ini disebabkan oleh beberapa hal yang sangat mendasar, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu misconception dan misperception. Miskonsepsi adalah kekeliruan dalam mengonsepkan kepemimpinan yang ideal. Seorang tokoh agama akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan agama, seorang politikus juga akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan politik, seorang ilmuan mau tak mau mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan teori-teori yang ia pelajari dan pasti tak jauh dari konsep George R Terry, dan masyarakat pun akan mengonsepkan kepemimpinan berdasarkan keinginan dan kebutuhan mereka. Sehingga terdapat berbagai macam definisi pemimpin ideal yang berkembang berdasarkan inspirasi masing-masing individu maupun kelompok. Standar pemimpin ideal yang diinginkan pun terlalu tinggi atau terlalu ideal dengan tolak ukur dan hasil perbandingan sejarah pemimpin-pemimpin terdahulu sebagai manusia sekaligus pemimpin yang sangat sempurna.
Konsep kepemimpinan yang dibangun oleh masyarakat benar-benar adalah high standard yang langka untuk ditemukan di zaman sekarang ini, sehingga sulit mengatakan, apakah yang akan kita pilih ini adalah seorang pemimpin atau seorang pejabat. Karena pada kenyataannya, kita sering memposisikan kepemimpinan itu sama dengan jabatan. Padahal kepemimpinan (al-wilayah) dan jabatan (manshab) sudah jelas berbeda. Pemimpin bisa saja tidak memiliki jabatan sedangkan pejabat adalah orang yang kebetulan memiliki kesempatan menduduki sebuah jabatan. Bahkan ada segelintir pelesetan bahwa pemimpin cenderung membina sedangkan pejabat cenderung membinasakan. Pemimpin tidak memerlukan atribut, sedangkan pejabat menyukai dan mengoleksi berbagai atribut yang dapat menguatkan eksistensinya. Hakekat seorang pemimpin adalah panutan yang diikuti dan dapat diteladani sesuatu darinya, sedangkan pejabat diikuti oleh orang-orang yang mau, mencari muka, dan tunduk pada perintahnya. Alhasil, idealnya seorang pemimpin yang ada selama pemilu ke pemilu hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Padahal yang kita pilih adalah seorang pemimpin sekaligus pejabat Negara, dan bukan pemimpin terhadap kaum atau golongan tertentu saja.
Jika sulit menemukan high standard seorang pemimpin sekaligus pejabat, apa salahnya jika kita mengambil low standard. Paling tidak, standar seorang pemimpin adalah kuat (mampu dari segi fisik, pengetahuan, dan keuangan) dan amanah. Dengan standar yang sederhana ini akan memungkinkan bagi semua kalangan, golongan ataupun agamawan untuk sepakat dan memilih seorang kandidat tanpa harus mengumbar kejelekan orang lain. Dan jika dimungkinkan untuk menggunakan dalil dari Al-quran, maka sepantasnya Al-Quran surah Al-Qashah: 26 yang artinya;”Sesungguhnya manusia terbaik yang Anda tunjuk (pilih) untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah” yang patut dijadikan sebagai standard dalam memilih pemimpin sekaligus pejabat.
Penyebab kedua timbulnya pergunjingan yang berdampak fitnah adalah Mispersepsi, yaitu keliru dalam berpersepsi tentang seseorang. Anehnya, seseorang yang belum pernah ketemu, tidak kenal, dan tidak tahu-menahu sama sekali tentang seorang kandidat namun ia mampu dengan sempurna menjelaskan persepsinya terhadap kandidat tersebut. Persepsi yang dibangun sekedar asumsi dasar yang belum jelas kebenarannya. Namun hal ini dijadikan sebagai nilai yang tak terbantahkan dengan cara mengada-adakan alasan/dalih dan isu kesukuan, keagamaan dan lain sebagainya yang berdampak pada timbulnya fitnah yang sudah pasti adalah dosa.
Sebuah kisah menarik yang dapat dijadikan pelajaran adalah kisah sahabat Rasul yang bernama Abu Darda ra. Suatu ketika beliau berjalan di pasar, terlihat sekerumunan massa sedang berkumpul dan ribut-ribut. Beliau mendekati kerumunan massa itu dan bertanya; apakah gerangan yang sedang terjadi? Salah seorang di antara mereka menjawab; Si Fulan telah mencuri sebuah apel dan dipukili beramai-ramai oleh masyarakat. Beliau menjawab; Astaghfirullahal Adzim semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian. Mereka kaget dan bertanya; mengapa demikian wahai Abu Darda’? Beliau lantas bertanya; Jika ada salah seorang dari saudara kalian yang terjatuh ke dalam sumur, maka apa yang akan kalian lakukan? Serentak mereka menjawab; Pasti kami akan menolong dan mengeluarkannya dari sumur itu. Beliua kemudian menjelaskan bahwa pada hari ini salah seorang saudara kalian telah terjatuh ke dalam sumur pencuri, bukannya kalian menolong dan mengeluarkannya dari sumur tersebut, malah justru kalian semua menceburkan diri ke dalam sumur mendzalimi orang lain. Saudara kalian pada hari ini telah melakukan dosa mencuri sedangkan kalian tanpa sadar telah melakukan dosa yaitu mendzalimi orang lain.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kisah di atas dalam kaitannya dengan gunjingan seputar pemilu Pilpres yang berdampak dosa adalah apa yang kita gunjingkan, argument yang kita keluarkan, semua itu adalah sah-sah saja. Yang patut dijaga adalah jangan sampai gunjingan dan argument itu menjadi fitnah yang berdampak pada dosa. Dosa kepada Allah selain musyrik sudah pasti akan diampuni, sedangkan dosa kepada orang lain tidak terampuni manakala orang tersebut belum memaafkannya. Maka dari itu, wahai saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, baik di Facebook, Twitter, BBM dan sebagainya untuk selalu waspada dalam menggunjingkan kandidat Pilpres maupun kandidat lainnya yang tanpa disadari berdampak pada dosa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar