IKLAN

Senin, 19 Agustus 2013

Janganlah Menjadi Pencuri Ilmu

Jangan Pernah Menjadi Pencuri Ilmu. Seringkali kita mendengar kabar tentang seorang penebang hutan yang mati lantaran pohon yang ditebangnya berbalik menghantam kepala si penebang pohon tersebut.
Seringkali kita dihebohkan oleh hal-hal mistis, misalnya dihebihkan dengan kabar berdirinya pohon setelah ditebang yang telah tumbang di areal pemakaman misalnya di Dusun Joho Kediri, Jawa Timur. Percaya atau tidak, toh masyarakat masih percaya akan adanya mahkluk halus yang tinggal di hutan-hutan, mata air, batu besar, pohon besar, kawah, dan puncak gunung. Kejadian-kejadian itu merupakan contoh kecil tidak adanya permintaan izin ketika memasuki atau mengambil barang tersebut dari hutan, atau dengan bahasa kasarnya disebut dengan mencuri.

Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain untuk dimilikinya tanpa sepengetahuan pemilikinya. Mencuri merupakan perbuatan yang dilarang atau diharamkan dalam semua ajaran agama. Di dalam sebuah hadist Rasulullah SAW dikatakan bahwa mencuri merupakan tanda hilangnya iman seseorang. “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri”. (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Setiap Muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia akan terikat dengan segala bentuk aturan dan ketentuan syariat Islam. Bahkan kualitas keimanannya akan sangat banyak ditentukan dari sejauh mana ketaatannya terhadap aturan-aturan syariah. Larangan untuk berbuat haram seperti mencuri ataupun memanfaatkan harta hasil curian yang merupakan turunan dari larangan mencuri adalah aturan baku yang harus ditaati. Logikanya sederhana saja, kalau mengambil wujud fisik bendanya sudah haram, maka mengambil manfaatnya juga otomatis haram. Keharamannya berdasarkan mengambil manfaat dari suatu benda yang bukan miliknya tanpa sepengetahuan dan seizin pemiliknya.

Dengan kata lain, sesuatu yang asalnya haram tidak dapat diubah hukumnya dengan cara memanfaatkannya untuk kebaikan, karena Islam menganjurkan suatu perbuatan itu diawali dengan niat yang baik (input), dilakukan dengan cara-cara yang baik (action), dan hasilnya pun akan semakin baik (output). Misalanya, tidak dapat membangun sebuah mesjid dari uang hasil mencuri, karena asal perbuatannya itu adalah haram. Sama halnya dengan mencuri ilmu (bukan menuntut ilmu). Ilmu adalah cahaya ilahi yang harus diniatkan dan diupayakan pemerolehannya dengan cara yang baik. Orang yang mencuri ilmu pasti tidak akan mendapatkan keberkahan dari ilmu yang dicurinya itu. Sebagaimana kisah imam Syafi’I ketika mengadu kepada gurunya Waki’ tentang kesulitan dalam menghafal pelajaran, gurunya memerintahkannya untuk meninggalkan perbuatan dosa. Artinya dosa akan menghalangi masuknya ilmu ke dalam fikiran dan hati dan sudah pasti tidak akan memberikan keberkehan.
شكوت إلى وكيع سوء حفظي #  فأرشدني إلي ترك المعاصى
فأخبرني بأن العلم نور  #  ونور الله لا يهدى للعاصى
Aku telah mengadu kepada guruku Waki’ tentang sulitnya menghafal, beliau memerintahkanku untuk meninggalkan segala perbuatan maksiat, beliau memberitahukanku bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikannya kepada orang yang berbuat maksiat

Dari kisah inilah, sehingga orang tuaku berkata:”Jangan pernah menjadi pencuri ilmu” karena ilmu itu akan cepat terlupakan atau hilang dari ingatanmu dan ilmu itu juga tidak akan memberikan keberkahan kepadamu. Agar tidak menjadi seorang pencuri ilmu, maka sebelum membaca sebuah buku, dianjurkan terlebih dahulu membaca al-Fatihah dengan niat semoga pahala dari bacaan itu ditujukan kepada si pemilik atau pengarang buku agar tidak mudah melupakan apa-apa yang telah dibaca dengan cepat dan selalu memperoleh keberkahan dari ilmu tersebut. Disamping itu, bacaan Al-Fatihah tersebut akan melindungi kita dari kekeliruan pemahaman maksud si pengarang yang terdapat di dalam buku.

Apakah kita pernah berfikir? Mengapa Al-Quran sebagai Kitabullah yang berisi kata-kata suci ilahiyah dan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW kepada seluruh ummat manusia sebagai pedoman hidup dan penangkal godaan syaitan laknatullah alaihi, dimana sebelum membacanya, harus didahului dengan membaca ta’awudz (meminta perlindungan) kepada Allah SWT. Bukankah kesucian Al-Quran menghalangi ketidaksucian syaitan dalam menyentuhnya? Bukankah Al-Quran adalah petunjuk dan perlindungan agar hati menjadi tentram? Ta’awudz inilah yang merupakan permintaan izin dan permemohonan lindungan dan petunjuk dari segala bentuk kekeliruan dalam memahami isi dan kandungannya. Sama halnya ketika memulai membaca sebuah buku, maka layaknya untuk membacakan surah Al-Fatihah sebagai permintaan izin dan perlindungan agar tidak menjadi pencuri ilmu yang tiada keberkahan dari hasil bacaannya.

Ada banyak kisah yang menceritakan upaya para alim ulama dalam memperoleh ilmu meskipun sekecil apapun dan bagaimana upaya mereka memperoleh keberkahan ilmu tersebut. Mungkin dengan membaca kisah tersebut akan semakin memudahkan kita dalam mencerna permasalahan ini.

Dikisahkan, pada suatu hari ketika Abu Salih sedang duduk di tepi sebuah sungai, tiba-tiba dia melihat sebuah apel sedang terbawa oleh air. Ketika itu Abu Salih belum makan apa-apa sebagai ganjal perutnya. Setelah dia melihat apel itu perutnya terasa lapar, lantas dia pun mengambil apel itu dan memakannya. Tiba-tiba dia tersadar akan kesalahannya. Buah apel itu adalah dari pohon milik orang. Karena Abu Salih seorang yang sangat religius, dia merasa tidak senang hati karena telah memakan buah yang bukan haknya. Dengan tidak membuang waktu dia terus mencari pemilik buah apel yang dimakannya itu. Dia benar-benar ingin meminta maaf karena terlanjur memkannya. Dia ingin meminta di halalkan buah apel yang dimakannya itu. Setelah sekian lama dia kembali mengikuti hulur sungai itu, akhirnya dia melihat dahan pohon apel tersebut terjatuh ke dalam sungai. Maka dia yakin bahwa apel yang dimakannya adalah dari salah satu pohon apel yang terjatuh itu. Karena rasa takut pada murka Allah dan pemilik pohon apel itu, ia lantas terus berjalan mencari orang yang punya pohon apel itu. Tidak lama kemudian Abu Salih pun tiba di sebuah rumah yang sederhana. Abu Salih dapat menduga bahwa rumah itu adalah rumah pemilik pohon apel tersebut. Rumah itu sebenarnya milik wali Allah yang terkenal bernama Abdullah Sawmai.

Setelah memberi salam dan masuk ke rumah orang itu, Abu Salih meminta maaf pada kesalahan yang telah dilakukannya. Abdullah Sawmai bersedia memaafkannya tetapi dengan syarat Abu Salih harus tinggal bersamanya selama 12 tahun. Wali itu sengaja menguji sejauh mana ketakwaannya. Di dalam hati wali itu berkata, “Sungguh baik anak muda ini, setelah memakan buah apel pun dia merasa perlu meminta maaf kepadaku.” Abu Salih yang lurus itu setuju dengan persyaratan yang diberikan oleh Abdullah Sawmai.

Sejak hari itu tinggallah dia bersama wali tersebut. Saat dia berada di situ, dia telah membantu membuat berbagai pekerjaan rumah dan taat pada setiap pekerja yang diberikan kepadanya. Setelah genap 12 tahun dia tinggal di situ, dia pergi ke kembali dengan wali itu untuk meminta maaf sekali lagi karena hendak pulang ke kampung halamannya. Segera setelah dia meminta maaf, Abdullah Sawmai pun berkata kepadanya, “Aku bersedia memaafkan kamu dengan syarat engkau harus menikah dengan anakku yang buta, tuli dan juga cacat”. “Kenapa bergitu berat sekali hukuman yang diberikan kepadaku, sedangkan aku hanya memakan sebuah apel”, bisik hati Abu Salih. Dia berpikir juga itu mungkin satu cobaan terhadap dirinya oleh Allah SWT. Mungkin ada hikmah dibalik semua itu. Akhirnya dengan rela hati Abu Salih menerima Persyaratan Abdullah Sawmai itu.

Setelah mereka menikah, Abu Salih terkejut ketika didapatinya istrinya tidak buta, tidak tuli dan tidak cacat seperti yang dikatakan oleh bapak mertuanya. Sebaliknya istrinya adalah seorang gadis yang sangat cantik yang tidak pernah ditemuinya sebelum ini sepanjang hidupnya. Di dalam hatinya dia berkata, “Mungkin berikut adalah balasan Allah terhadapku karena bersabar. Tapi kenapa pula ayah mertuaku tidak mengatakan yang sebenarnya kepadaku dahulu“.

Pada suatu hari ketika ayah mertuanya sedang duduk di pintu, Abu Salih pun datang menghampirinya sambil bertanya, “Wahai ayahku, mengapa ayah mengatakan bahwa anak ayah itu buta, tuli dan cacat?” Maka Abdullah Sawmai pun menjawab, “Aku katakan Fatimah istrimu itu buta sebab dia belum pernah melihat orang lain selain dari ayahnya. Aku katakan dia tuli karena dia belum pernah mendengar kata kasar dan aku katakan dia cacat karena dia tidak pernah membuat dosa“.

Kisah lain, Imam hujjatul islam Al-Ghazali pernah dihadang oleh sekelompok perampok saat melakukan perjalanan dan mereka mengambil seluruh bawaan beliau. Namun ada hal yang penting dari barang yang dirampas oleh mereka yakni beberapa catatan ilmu, hingga imam Al-Ghazali mengejar kelompok perampok itu. Ketika para perampok mengetahui bahwa mereka dikejar, pemimpin mereka mengatakan,”kembalilah, jika tidak, engkau akan celaka!” Imam Al-Ghazali pun menjawab,”Aku hanya ingin kalian mengembalikan beberapa catatanku saja, hal itu tidak bermanfaat bagi kalian.


Kepala perampok itu pun mengatakan,”Di mana catatanmu itu?” Ia menjawab,” Beberapa buku di kantung itu, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak dan menulis ilmunya.” Kepala perampok itu pun tertawa, ”Bagaimana engkau mengaku mengetahui ilmunya? Sedangkan kami telah mengambilnya darimu dan kini engkau tidak memiliki ilmu lagi.” Kamudian ia memerintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku-buku itu. Setelah terjadi peristiwa itu, Imam Al-Ghazali mengatakan,”Peristiwa ini merupakan nasihat dari Allah untukku, maka ketika aku sampai di kota Thus aku meluangkan diri selama 3 tahun hingga hafal seluruh catatanku itu, sehingga jika aku dirampok lagi aku tidak kehilangan ilmu.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 3/103)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar